Hidayatullah.com– Ketua Umum Yayasan Al Fatih Kaaffah
Nusantara (AFKN) Muhammad Zaaf Fadlan Rabbani Garamatan hari Sabtu
(10/10/2015), menjadi pengisi acara di Masjid Ba’abussalam, Surabaya.
Dai asli Papua ini ini mengisi “Kajian Tematik Rahmatan
Lil’Alamin”, yang dihadiri kaum Muslimin, warga sekitar Komplek Perumahan
Mulyosari utara dan Komunitas Muslim Pakuwon City.
Dalam kegiatan yang diinisiasi
oleh pemuda-pemuda Masjid Ba’abussalam ini, anak ketiga dari tujuh bersaudara
ini bercerita perjalanan awal dakwahnya.
“Dulu 1978-an, saya hijrah dari
Fak-fak ke Makassar, ketika hijrah saya naik kapal laut, turun di pelabuhan
Makassar bertemu orang Bugis, waktu itu saya sapa mereka, Assalamualaikum,
tidak ada satupun yang membalas salam saya, sebagian orang di pelabuhan berkata,
masa orang Islam seperti ini, hitam, pendek, keriting,” kenangnya.
Semasa di kos, ia juga sering
diawasi orang karena dikira misionaris.
“Ketika menjelang shalat Subuh,
saya keluar dari kos menuju ke masjid, di saat saya berwudhu, saya diawasi oleh
pengurus masjid, itu terjadi tidak di waktu Subuh, tapi sholat Dhuhur, Ashar,
Magrib, Isya’, selalu diawasi pengurus masjid. Sebagian orang mengatakan ini
jangan-jangan misionaris berproklamasi di masjid kita, ” paparnya, pria
kelahiran Patipi, Fak-Fak, 17 Mei 1969 ini.
Lulus sebagai sarjana Fakultas
Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 1980-an, Fadlan yang pernah
mengandrungi pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil selama 1 tahun 9 bulan.
Berbagai fasilitas dia peroleh dari mobil dinas, rumah dinas, hingga amplop dinas, tapi kemudian ia memilih berhenti.
Berbagai fasilitas dia peroleh dari mobil dinas, rumah dinas, hingga amplop dinas, tapi kemudian ia memilih berhenti.
“Saya lebih berkeinginan
menjadi PNS asli (Pegawai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam),” ucapnya, sambil
mengenang.
Menjadi penyeru agama Islam dan
mengangkat harkat martabat orang Wamena, Biak, dan orang Irian lainnya adalah
pilihanya. Dia tidak setuju kalau orang-orang ini dibiarkan tidak
berpendidikan, telanjang, menyusui anak babi, mandi hanya tiga bulan sekali
dengan lemak babi, dan tidur bersama babi.
Semua penghinaan itu hanya
karena alasan budaya dan pariwisata.
”Itu sama saja dengan
pembunuhan hak asasi manusia,” kata putra pasangan Machmud Ibnu Abu Bakar Ibnu
Husein Ibnu Suar Al-Garamatan dan Siti Rukiah binti Ismail Ibnu Muhammad
Iribaram ini.
Sejak tahun 1985, Fadlan
memulai dakwahnya di bumi Papua. Fadhlan, lebih senang menyebut Papua dengan Nuu Waar.
Nuu
Waar adalah
nama pertama untuk Papua, sebelum berubah menjadi Irian Jaya, dan Papua saat
ini. Nuu Waar, dalam bahasa orang Papua, berarti cahaya yang menyimpan rahasia
alam.
“Papua dalam bahasa setempat
berarti keriting. Karena itu, komunitas Muslim lebih senang menyebutnya dengan
Nuu Waar dibandingkan Irian atau Papua,” ujar Fadhlan kepada jama’ah Masjid
Ba’abussalam */Rahmatullah Rahman
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar